17 Desember 2009


Ceramah Ustadz Wahfiudin




Sudah lama saya tidak mengikuti ceramah ustadz Wahfiudin. Dulu, semasa saya sekolah di STM (SMKN 4 Tangerang) sering mendengarkan tauziah dari beliau melalui siaran Radio, Televisi dan Harian Umum Republika yang selalu memuat tulisan-tulisan beliau. Tak hanya itu, ketika kuliah di Poltek GT hampir menjadi kebiasaan saya membaca koran Republika di kampus, sekalipun banyak tugas kuliah yang menumpuk masih sempat saya ikuti ceramah beliau di asrama melalui saluran Radio.

Pernah saya ke rumah beliau di daerah Balai Pustaka Rawamangun, Jakarta. Tepatnya tanggal 27 Desember 2004 untuk mengikuti pengajiannya, namun beliau belum pulang karena masih mengurusi masalah Tsunami di Aceh saat itu, saya tertarik dengan metode beliau dalam mengajarkan dan menyampaikan Islam dengan lembut dan kasih sayang lewat pendekatan tasawufnya. Kini, 4 tahun sudah saya tidak mengikuti perkembangan beliau. Namun, saya dan anda bisa membaca artikelnya di blog wahfiudin.blogspot.com.

Inilah beberapa artikel yang dimuat oleh beliau;



Orang- orang yang tertipu

Source: www.radix.co.id / www.qalbu.net



Berfikir yang baik adalah yang objektif, artinya pemikir tidak melibatkan perasaan dan pengalamannya dengan obyek yang difikirkan. Obyek selalu berada di luar diri pemikir dan pemikir tidak masuk kedalam obyek. Filosof yang baik adalah pemikir yang selalu membuat jarak dengan obyek fikirannya, ia cukup “to sit and to think from outside”.



Berbeda dengan seorang sufi, ia melibatkan perasaannya, berjalan mendekat dan menyatu dengan obyek untuk “mengalami” obyeknya, bahkan ia “menjadi” (seperti) obyeknya. Menjadi sufi berarti harus “to walk, to experience and to become”. Ada pelibatan diri, penyertaan kesadaran dan perasaan, sehingga sufi tumbuh “menjadi” bersama obyek kesufiannya.



Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 191 dengan jelas membedakan antara fikir dan dzikir.

Dzikir selalu diorientasikan kepada Allah SWT yang transendental, sedangkan fikir selalu diorientasikan kepada ’kejadian-kejadian langit dan bumi’ yang fenomenal. Karena itu, kalau fikir menggunakan pendekatan empirik, struktural dan logik; maka dzikir tidak membatasi dan memang tidak boleh terpaku, pada empirisme, struktur dan logika. Dzikir tidak terpaku pada bentuk dan warna, susunan atau komposisi, serta hubungan-hubungan sebab-akibat. Ia adalah proses dinamis yang dibiarkan mengalir begitu saja seperti arus sungai pegunungan yang menuruni lembah, kadang bergolak bergejolak atau berputar menjadi sebuah turbolensi yang menyedot apa saja yang ada di dekatnya.



Para Sufi sering menyebut berfikir sebagai ”berjalan” dan berdzikir sebagai ”terbang”. Terbang tak menghajatkan adanya langkah-langkah sistematik karena terbang adalah gerak quantum yang melonjak-lonjak, kadang melesat kadang berputar, kadang melayang kadang menukik tajam. Perhatikanlah gerak kupu-kupu yang sedang menari-nari di taman bunga, itulah berdzikir.



Dengan berfikir filosof mencari makna atas obyeknya (hushuli), dengan berdzikir sufi memperoleh makna dari obyeknya (hudhuri). Imam Ghazali letih mencari-cari dengan filsafatnya lalu mendapatkan kesejatian dengan kesufiannya. Ia mengalami ketersingkapan (al-Kasyf) dan mendapatkan kejelasan (at-Tabyîn) dari apa yang selama ini banyak membuat manusia terkecoh (al-Ghurûr). Maka lahirlah bukunya Al-Kasyf wa At-Tabyîn fî Ghurûr Al-Khalqi Ajma’în yang dalam Bahasa Indonesia berarti ”Orang-orang Yang Tertipu”.



Sepanjang orang hanya berfikir orang akan mudah terkecoh. Fikiran memang membuat mata terbuka lebar menangkap pemandangan yang luas, tapi belum tentu membuat jiwa memahami kedalaman makna yang hakiki dari apa yang dilihat dan dikerjakan. Orang-orang yang hanya sibuk berfikir, baik kafir maupun mukmin, tertipu oleh fikirannya. Orang-orang yang bermaksiat dan beramal shalih, banyak yang tertipu oleh kaidah-kaidah syariah yang difikirkannya. Begitu juga dengan ulama dan ahli ibadah, orang-orang kaya, bahkan para sufi pun banyak yang tertipu oleh fikiran dan prasangkanya.



Jangan-jangan Anda juga bisa tertipu...