20 April 2013

 
KH. R. Asnawi Kudus
 
Suatu hari Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari merasa musykil seusai membaca secarik kertas berbahasa Arab yang disodorkan putranya, KH. A. Wahid Hasyim. Kepada putranya, yang saat itu ditemani oleh KH. Saifuddin Zuhri, pemimpin Ansor Banyumas, beliau memperlihatkan bagian-bagian isi surat yang dirasa amat memberatkan hati itu.

“Aku merasa susah sekali, karena guru saya ini marah kepada saya. Masalahnya, karena saya mengizinkan terompet dan genderang yang dipakai anak-anak kita, Pemuda Ansor. Padahal guru saya ini mengharamkannya….”

Demikian sekelumit cerita yang dicatat oleh KH. Saifuddin Zuhri, saat pertama kalinya dia bertemu dengan Hadratusy Syaikh di kediamannya, Pesantren tebuireng, Jombang. Guru yang dimaksud adalah KH. R. Asnawi.



Kiai Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus Jawa Tengah, pada tahun 1281 Hijriyah (sekitar tahun 1861 Masehi). Putra H. Abdullah Husnin, seorang pedagang konveksi yang cukup besar dan memiliki jalur nasab pada KH. Mutamakkin, Kajen, Pati. Sedangkan dari ibunya, R. sarbinah, bergaris keturunan pada Sunan Kudus, Raden Ja’far Shodiq. Untuk itulah di depan namnya tertulis huruf “R” singkatan dari Raden, putra seorang bangsawan Jawa.

Beliau belajar dasar-dasar agama dan Al-Qur’an dari ayahnya sendiri. Ketika berusia 15 tahun mengikuti ayahnya pindah ke Tulungagung. Di kota marmer itu beliau belajar sambil bekerja. Pagi hari berdagang membantu ayahnya dan sore hingga malam harinya mengaji di Pesantren Mangunsari. Namun akhirnya beliau lebih tertarik dengan dunia Pesantren. Orang tuanya melihat gelagat itu. Sampai akhirnya ayahnya meminta anaknya untuk tidak membantunya lagi demi menekuni pendidikan. Setelah beberapa tahun di Tulungagung, beliau kembali ke Kudus, berguru kepada H. Irsyad, seorang penghulu di Mayong, Jepara.

Setelah sekian lama mendalami pendidikan di Mangunsari dan Mayong, beliau mulai berani mengajar di berbagai tempat. Salah satunya adalah di Masjid Muria, yang berjarak 18 km dari Kudus. Ketika usianya menginjak 30 tahu, beliau dikirim orang tuanya ke Makkah untuk meneruskan pendidikan. Di sana beliau belajar pada para Ulama asal Jawa, seperti KH. Soleh Darat (semarang), KH. Mahfudz at-Turmusi (Tremas, Pacitan), dan lain sebagainya. Juga belajar kepada para ulama Makkah seperti Sayid Umar Syatha.

Setelah beberapa waktu lamanya belajar di Makkah. Beliau mulai mengajar di sana. Para santri asal Jawa banyak belajar kepada beliau, seperti Abdul Wahab Hasbullah (Tambak Beras, Jombang), Bisri Syansuri dan Soleh (Tayu, Pati), Dahlan (Pekalongan), Hambali dan Mufid (Kudus) serta Muchid (Sidoarjo). Beliau juga turut aktif dalam gerakan Sarekat Islam, dan menjadi Komisarisnya di Makkah. Setelah bermukim selama 25 tahun, barulah beliau kembali ke Kudus.

Sekitar tahun 1924 datanglah seorang santrinya sewaktu di Makkah, KH. Abdul wahab Hasbullah ke Kudus. Dalam perteuan itu dibicarakan tentang perkembangan paham keagamaan Nasional, khususnya serangan kaum pembaharu terhadap amalan para kiai yang dinilai menyimpang. Sampai akhirnya keduanya sepakat untuk mendirikan benteng pertahanan akidah ahlussunah waljama’ah dalam bentuk organisasi, yang kelak dinamakan Nahdlatul Ulama, dua tahun kemudian.

Pada tahun 1926, ketika para kiai besar berkumpul di Surabaya untuk mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Kiai Asnawi turut hadir di sana. Sebagai ulama senior beliau diangkat sebagai salah seorang Mustasyar (penasehat) dalam kepengurusan NU yang pertama, bersama KH. Ridlwan (semarang, KH. Mas Nawawi (Sidogiri), KH. Doro Muntoho (Bangkalan), Syaikh Ahmad Ghonaim Al-Misri (Mesir), dan KH. R. Hambali (Kudus).

Karena pengaruhnya yang besar, beliau pernah didatangi oleh Van Der Plas, Penasehat Gubernur Hindia Belanda dalam bidang agama. Meski ia seorang kafir, namun mahir berbahasa Arab, karena telah mempelajari Islamologi dengan matang. Bahkan dikabarkan ia juga hafal 30 juz Al-Qur’an. Van Der Plas mendatangi Kiai Asnawi untuk menawarinya jabatan sebagai hakim agama. Keduanya berkomunikasi dengan bahasa Arab yang sama-sama fasih.

Namun tawaran itu akhirnya ditolak oleh KH. Asnawi dengan halus. Alasannya, sebagai seorang ulama dan mubaligh, beliau merasa kurang bebas jika menjadi pegawai pemerintah. Tugas menyampaikan kebenaran membutuhkan sikap kebebasan, independensi, keberanian dan tidak terpengaruh oleh siapapun. Dengan menjadi pegawai pemerintah menurut Kiai Asnawi, beliau akan kesulitan menyampaikan dakwahnya, apalagi kalau sasaran dakwahnya justru pemerintah Belanda sendiri.

Pada tahun 1953, suatu ketika Kiai Asnawi berkunjung ke rumah KH. Saifuddin Zuhri, secara tiba-tiba. Tuan rumah langsung gugup dan minta maaf pada tamunya, lantaran dia memakai dasi, karena saat itu dia akan berangkat ke kantor. Dia ingat betul bagaimana dalam acara Konperensi Besar Ansor Kiai asnawi marah besar sambil menarik dasi yang dikenakan salah seorang pemimpin Ansor.

Tahu tuan rumah gugup dan minta maaf, Kiai Asnawi malah tersenyum. “Lain dulu, lain sekarang”. Dulu saya mengharamkan dasi karena ada illat, yaitu tasyabbuh (menyerupai) dengan Belanda, orang kafir. Sekarang memakai dasi tidak haram lagi, karena tidak tasyabbuh dengan belanda, tetapi menyerupai Bung Karno dan Abdul Wahid Hasyim…”

Sebagai salah seorang Mustasyar PBNU, beliau selalu aktif mengikuti kegiatan organisasi yang dicintainya, terlebih dalam forum muktamar. Terhitung sejak muktamar pertama di Surabaya (1927) hingga muktamar ke 22 di Jakarta (1959), beliau hanya sekali absen, yaitu dalam muktamar Medan (1952). Itupun karena meletusnya pemberontakan PRRI di Sumatera.

Ketika muktamar ke 22 di Jakarta berlangsung, beliau berkata pada KH. Musta’in Romly dari Peterongan, Jombang : “In, rasa-rasanya ini merupakan kehadiranku yang terakhir di muktamar. Badan dan kekuatanku terasa sudah begini lemah.

Ternyata apa yang dikatakan Kiai Asnawi memang benar. Satu minggu setelah muktamar usai, tepatnya pada tanggal 26 Desember 1959, beliau dipanggil menghadap Allah SWT untuk selamanya. Beliau wafat dalam usia 98 tahun. Jenazahnya dimakamkan di sebelah barat mihrab Masjid Menara Kudus.



Ref : Buku Antologi NU