24 Juli 2011


Membangun Keluarga dengan Cinta


Penulis : Fahrudin Ali Prabowo, SE


Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada istri Rasulullah, Aisyah, “Apakah yang dikerjakan Rasulullah di rumah ?” Aisyah menjawab, ‘Beliau biasa didalam tugas sehari-hari keluarganya, yakni melayani keluarganya. Maka apabila telah tiba waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikan shalat”.



Dialog diantara al-Aswad dengan Aisyah yang terangkum dalam hadits Bukhari itu benar-benar meresap dalam telinga saya. Setelah dua tahun menikah, saya berupaya menerapkannya. Ditengah keluarga, kegiatan sehari-hari seperti membersihkan rumah, berbelanja ke pasar hingga memasaknya, adalah hal yang biasa saya lakukan bersama istri.



Malukah saya dengan lingkungan saya, yang masih menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga menjadi tugas istri ? Saya rasa tidak. Bila Rasulullah SAW yang saya junjung tinggi saja menjahit pakaiannya, memerah susu kambingnya dan melayani dirinya, kenapa saya tidak ? Meneladani kehidupan Rasulullah, menurut saya tidak hanya sebatas pada perkara-perkara diluar rumah, yang orang banyak bisa menyaksikannya. Namun perlu juga meneladani kehidupan beliau didalam rumah tangganya, yang cukup diketahui oleh istri, anak dan kerabat-kerabat dekat kita.



Selama ini, kita seolah-olah telah dibatasi pada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki harus mengurusi persoalan publik, sedangkan wanita ditugasi membereskan persoalan domestik. Kita, kaum lelaki, selalu minta dilayani, tanpa mau gantian untuk melayani.



Sebagai pasangan perkawinan yang masih tergolong muda, saya selalu berupaya untuk mencari bentuk rumah tangga ideal yang pernah dibangun oleh para pasangan sebelumnya. Memang tidak sulit untuk mencari wawasan dan pengetahuan di abad informasi saat ini.



Majalah, koran dan tabloid begitu mudah didapat. Berita tentang keluarga idealpun sering disuguhkan didalamnya. Namun demikian, saya merasa belum menemukan profil keluarga ideal tempat saya berkiblat. Profil sebuah keluarga yang menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai poros kehidupan mereka. Hingga suatu ketika, istri saya yang hobi menulis mengajak saya pergi ke toko buku. Lalu dia beli dua buah buku biografi Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra. Dari situlah saya temukan profil keluarga ideal yang saya inginkan.



Sebagaimana Nabi, Ali pun membantu istrinya dalam membereskan urusan keluarganya. Suatu ketika dia pernah berkata pada istrinya, Fatimah, “Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur hingga dadaku terasa sakit.” Lalu Fatimah menimpali,”Dan aku demi Allah, memutar penggilingan hingga tanganku melepuh.” Dari dialog suami istri itu dapat saya simpulkan bahwa peran ganda pria dan wanita telah membudaya dalam kehidupan masyarakat yang dibina Nabi, jauh sebelum masyarakat modern mempropagandakannya akhir-akhir ini. Betapa pasangan Ali dan Fatimah telah membangun keluarganya dengan cinta. Cinta dalam makna saling menolong, saling mengasihi, saling memberi dan saling menyayangi.



Walau begitu, apakah ini berarti bahwa saya mengesampingkan profil rumah tangga yang dibina Rasulullah ? Tentu saja tidak. Bagi saya, profil rumah tangga Nabi justru teramat agung untuk saya teladani secara utuh. Sebagai manusia biasa, ada sesuatu hal yang tak sanggup saya lakukan sebagaimana Rasulullah telah melakukannya. Misalnya dalam hal poligami. Bukan semata-mata karena alasan kemampuan fisik atau materi. Lebih dari itu semua, betapa relatifnya sifat adil yang dimiliki seorang manusia biasa itu.



Karena itulah, saya tidak heran manakala suatu ketika seorang teman mengeluh pada saya mengenai beratnya membangun keluarga dimasa-masa awal dalam perkawinan. Bila membina rumah tangga itu enteng, mungkin Rasulullah tidak perlu bersabda , “Barangsiapa kawin (beristri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi”. (H.R. Al-Hakim dan Aththahawi). Begitulah jawaban saya dalam hati