Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Hebat rasanya ketika mendengar ada
seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di
sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum
lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri
untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah
dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ’menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ’menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama ”Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk ”Saya adalah ibu rumah tangga”.
Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu ”sukses”
berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada
seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau
bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi
seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan
”nasehat” dari bapak tercintanya: ”Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.”
Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia,
yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin
mencari surga.
Ibu Sebagai Seorang Pendidik
Syaikh Muhammad bin Shalih al ’Utsaimin rahimahullah
mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara:
Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di
pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak
didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar
rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang
dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum
wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana
difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
”Dan
hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul
Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Pertumbuhan
generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu.
Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam
pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar!
Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan
tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As
Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq,
mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan
mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana
menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur,
mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab,
mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan
masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang
dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada
anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa
masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal
semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan
dan kesabaran untuk membiasakannya.
Sebuah Tanggung Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
”Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: ”Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr
(kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh
karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib
menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.
Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, ”Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya
(IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat
Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)
Muqatil
mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus
mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk
mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.
Ibnu
Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua
tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta
pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai
hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, ”Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)
Ibnu
Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan
pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia
membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar.
Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak
acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah
agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka
tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang
anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.
Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
”dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
”dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”Kaum
lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab
atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan
anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang
pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung
jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung
jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari
keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan
keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati
dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena
mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara
fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini
adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai
pertanggungjawaban tentangnya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, ”Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab ”Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab ”Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, ”Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi ”pengen jadi Superman!”
Jiwa
seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet
dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang
sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh
dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika
seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau
membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita
bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai
para ibu -atau calon ibu-?
Setelah
kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai
seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya
keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu
yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan
anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah
terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah
sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak
mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di
dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di
perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.
Anehnya
lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga
mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak
mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian
besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan
anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya
makan. Sedih!
Padahal
anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya
yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan.
Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita
inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang
berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil
mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang
bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah,
bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria
di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika
usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini
hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar
berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik
anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang
dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan
anak-anak mereka?
Ketika
malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur,
ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah
tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, Siapakah
yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?
Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ’cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ’cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam
Maroji’:
- Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat
- Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
- Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427/April 2006
0 Komentar:
Posting Komentar
<< Home