Sejarah Balaraja Kabupaten Tangerang
Historis Tangerang Barat (Tangbar) dan identitasnya tak lepas dari sejarah sebuah kota Balaraja. Gagasan pemekaran Tangbar pun di lontarkan oleh Bupati Tangerang, Ismet Iskandar di kota ini. Balaraja merupakan kota icon Tangbar sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa sebagai daerah kewedanaan yang wilyahnya meliputi wilayah Tangbar pada saat ini didesak untuk segera dimekarkan.
Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
Masyarakat Tangerang Barat dahulu terkenal dengan kekuatan silaturahminya. Dahulu orang mengenal dengan istilah ampihan, artinya tempat seseorang yang ditokohkan sehingga banyak orang lain berkumpul untuk kongko-kongko saja atau memecahkan suatu masalah di tempat tersebut.
Seperti kita ketahui Tangerang adalah negeri seribu industri. Begitupun Tangerang Barat menerima cipratan arus industri ini sehingga pola perilaku masyarakat Tangerang Barat lambat laun berubah.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Historis Tangerang Barat (Tangbar) dan identitasnya tak lepas dari sejarah sebuah kota Balaraja. Gagasan pemekaran Tangbar pun di lontarkan oleh Bupati Tangerang, Ismet Iskandar di kota ini. Balaraja merupakan kota icon Tangbar sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa sebagai daerah kewedanaan yang wilyahnya meliputi wilayah Tangbar pada saat ini didesak untuk segera dimekarkan.
I. Balaraja dari Masa ke Masa
A. Balaraja Masa Kerajaan Banten
Balaraja yang terletak di Tangerang bagian barat yang menyimpan bukti sejarah dan titik nadirnya dimulai dari nama daerah ini. Nama kota Balaraja terdapat dua versi akar nama sejarah kota ini.
Balaraja yang terletak di Tangerang bagian barat yang menyimpan bukti sejarah dan titik nadirnya dimulai dari nama daerah ini. Nama kota Balaraja terdapat dua versi akar nama sejarah kota ini.
Pertama,
Balaraja berasal dari kata bala (bale) dan raja. Bale berarti balai
atau tempat persinggahan. Dan raja yang dimaksud di sini adalah raja
yang berasal dari kerajaan Banten. Artinya tempat peristirahatan raja.
Pernyataan ini dikuatkan dengan sebuah tempat pemandian yang dikenal
dengan nama Talagasari (Tempat ini kemudian menjadi nama desa).
Letak
tempat pemandian tersebut tepat berada di depan balai dulu gedung
Kewedanaan Balaraja dan sekarang dijadikan gedung Kecamatan Balaraja
tersebut. Diperkirakan berada di Klinik Aroba, tepatnya di belakang
Mesjid Al-Jihad. Hal ini mengingatkan kita pada Tasik Ardi dekat Situs
Surosowan, Banten.
Ada
berbagai versi mengenai diri raja yang beristirahat di wilayah ini.
Pertama ada yang menyatakan Raja Brawijaya dari Majapahit dan Sultan
Agung dari Mataram yang tercatat dalam sejarah pernah menyerang Batavia.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Kedua,
terdapat makam Buyut Sanudin letaknya berada di Kampung Leuweung Gede
Desa Parahu Kecamatan Sukamulya. Ketiga, Makam Nyi Mas Malati di Kampung
Bunar, Desa Bunar Kecamatan Sukamulya. Pejuang wanita Banten di
Tangerang.
Dan
yang terakhir Makam Uyut Ambiya. Makam yang pernah membuat heboh
seantaro Nusantara karena makam ini mendadak membesar seperti orang
hamil. Dari beberapa hikayat bahwa Uyut Ambiya ini salah satu pemimpin
perang Banten versus Kompeni Belanda. Sebagian orang ada yang mengatakan
Uyut Ambiya ini orang yang sama dengan Buyut Talim.
Jika
ditinjau dari persebaran bahasa. Di Balaraja terdapat pulau bahasa Jawa
Banten yang berada di Kampung Pekong Desa Saga Kecamatan Balaraja.
Kemiripan kosa kata dengan bahasa di bantaran sungai dan pesisir pantai
di wilayah kerajaan Banten.
Dari
bukti-bukti tersebut Balaraja sangat kental dengan perjuangan Banten
melawan Kompeni Belanda yang berada di batas demarkasi sebelah Timur
Cisadane. Wajar saja sebab wilayah ini dibelah oleh sungai Cimanceri
sebagai jalan menuju Batavia pada waktu itu.
Adapun
versi etimologi, Balaraja yang kedua. Kata Balaraja berasal dari dua
kata, Yakni kata bala tentara raja kemudian untuk memudahkan sebuta
disingkat menjadi balaraja. Versi ini juga mengakui bahwa bala tentara
raja ini berasal dari Banten.
Jika
kita kaitkan dengan bukti yang tersebar di sekitaran kota ini sangat
cocok. Sebab bukti makam yang berada disekitaran Balaraja pun dipenuhi
oleh makam para pejuang yang berasal dari Banten.
Nama
Kota Balaraja pernah diinterpretasi oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
dalam tausiyah di Mesjid At-Taqwa, Tanjung Karang, Bandar Lampung, 1998.
Ketika itu penulis masih menjadi mahasiswa di sana. Beliau mengatakan
bahwa tanda-tanda kejatuhan Soeharto itu ditandai oleh membesarnya
(baca: Hamilnya) makam para pejuang Banten di desa Tobat.
Sign pada
kata “Bala” bermakna bencana dan “raja” itu presiden yang berkuasa
dalam hal ini, Soeharto. Tempat makam tersebut berada di desa Tobat.
Bencana bagi presiden menandakan bencana yang menimpa Soeharto dan
kroninya untuk segera bertobat. Kata bertobat itu merujuk pada nama desa
tempat makam berada.
B. Balaraja Masa Kolonial
Sejarah Balaraja ketika zaman Kolonial Belanda tak lepas dari sejarah berdirinya Tangerang yang pada waktu itu ditetapkan sebagai kontroleur afdeling yang dikepalai seorang kontroleur. Daerah itu dibagi dalam beberapa wilayah administrasi distrik (orang Balaraja bilang: kewedanaan) yang dikepalai seorang demang (dimulai 1881)—tahun 1907 kemudian diganti dengan wedana.
Sejarah Balaraja ketika zaman Kolonial Belanda tak lepas dari sejarah berdirinya Tangerang yang pada waktu itu ditetapkan sebagai kontroleur afdeling yang dikepalai seorang kontroleur. Daerah itu dibagi dalam beberapa wilayah administrasi distrik (orang Balaraja bilang: kewedanaan) yang dikepalai seorang demang (dimulai 1881)—tahun 1907 kemudian diganti dengan wedana.
Berdasarkan
Staatblad van het Nederlands Indie No. 185 tahun 1918 luas wilayah
tersebut 1309 Km2 yang terdiri dari distrik Tangerang, Belaraja
(Blaraja) dan Mauk. Pada perkembanganya dimekarkan menjadi empat
sehingga pada tahun 1934 berdirilah Kewedanaan Curug.
Dalam
ranah birokrasi kolonial Belanda jabatan yang paling tinggi untuk
bumiputera adalah wedana dan kepala jaksa. Jabatan ini pun pada umumnya
dipegang oleh bangsawan Sunda dari Priangan atau Cirebon.
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Adapun
wilayah distrik tak lepas dari tanah partikelir. Jika kita konversikan
sekarang tanah partikelir di Balaraja (1900-1910) tersebut terdiri dari
Antjol Victoria of Daroe (sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Jambe dan
sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir (sekarang masuk kecamatan Jambe),
Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk wilayah kecamatan Balaraja dan
Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk wilayah kecamatan Tigaraksa),
Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cisoka dan Solear),
Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk wilayah kecamatan Kemiri),
Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan Kronjo), Djenggati (sekarang
masuk wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng of Kresek (sekarang masuk
wilayah kecamatan Kresek).
Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
C. Balaraja Masa Revolusi
Pergolakan di Balaraja terjadi ketika pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan di Balaraja terjadi ketika pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan
Tangerang tak lepas dari peran serta komando Resimen Tangerang yang di
dalamnya terdapat lasykar rakyat. Berita dari pelaku lasykar pernah di
dengar penulis dari almarhum Sersan Sawinan (mantan TRI) ketika terjadi
baku tembak antara Tentara Belanda (Gurkha) dan Lasykar rakyat di Pasar
Balaraja lama.
Beliau
menceritakan bangunan pasar dibombardir (baca: digranat) oleh tentara
Belanda. Kekaguman penulis saat itu mengarah pada struktur kekuatan
beton bangunan pasar yang tetap tangguh. Mungkin sesuatu yang susah
dicari tandingannya dengan bangunan di zaman sekarang.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Masa
revolusi yang menjadi catatan pahit adalah zaman gedoran Cina.
Peristiwa ini tercatat dalam berita jurnalistik sekitar awal Juni 1946.
Kampung Parahu dan Kampung Ceplak Kewedanaan Balaraja adalah kampung
yang paling banyak menelan korban warga Cina.
Peristiwa
kelam ini bukan berarti melulu kesalahan pribumi tetapi memang
kesalahan sistem kolonial yang membuat pribumi tertindas. Peristiwa ini
pun diperparah dengan identifikasi pribumi terhadap warga Cina yang
menjadi mata-mata Belanda. Kerusuhan muncul mulai dari Tangerang
merambah ke daerah hingga pecah di kawasan Kewedanaan Balaraja.
Syahrir
sebagai perdana menteri pada 6 Juni 1946 menyesali peristiwa
penggedoran Tangerang. Esoknya Soekarno pun menyinggung peristiwa
tersebut dalam pidatonya yang berjudul “Keadaan Bahaya”.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Di
Balaraja M. Natsir berpidato dihadapan massa dan menasihati masyarakat
Balaraja. Agar kerusuhan semacam ini tidak terulang kembali karena akan
merugikan pemerintah RI yang baru saja berdiri dalam meraih citra publik
di mata internasional. Dibantu oleh tokoh daerah seperti Achmad Chotib,
Syamoen dan Sutalaksana. Akhirnya warga pribumi dan Cina pun memahami
kekeliruannya.
Ada
hal yang patut menjadi perhatian bagi pembaca bahwa Balaraja pernah
menjadi ibukota Kabupaten Tangerang ketika diduduki tentara Gurkha,
Belanda. Pemerintah RI mengangkat R. Achyad Penna sebagai Patih
Pemerintah RI beserta seluruh staf dan aparat pemerintah RI Kabupaten
Tangerang mutasi ke Balaraja, jabatannya pertamanya dari 1945 hingga
1949. Selanjutnya Bupati RI di Balaraja dijabat oleh KH Abdulhadi (Juli
1946), R. Djajarukmana (1947) hingga jabatan ini kembali ke R. Achyad
Penna tahun (1950-1952).
Sebagai
catatan bahwa pada masa revolusi kedudukan pemerintah RI Kabupaten
Tangerang berkedudukan di Balaraja kurang lebih selama 7 tahun. R.
Achyad Penna sebagai orang Tangerang lulusan OSVIA Serang kemudian
menjabat kembali sebagai Bupati Tangerang (1950-1952) setelah penyerahan
kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah RI.
D. Balaraja Masa Kini
Kewedanaan Balaraja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Kewedanaan Balaraja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Seiring
dengan perkembangan zaman otonomi daerah, tahun 2007 Bupati Tangerang,
Ismet Iskandar memekarkan kembali Kecamatan Balaraja sehingga jadilah
Kecamatan Sukamulya. Kecamatan Kresek dipekarkan jadilah Kecamatan
Gunung Kaler. Kronjo dipekarkan jadilah Kecamatan Mekar Baru dan
Kecamatan Cisoka jadilah tumbuhlah Kecamatan Solear. Sebagai ancangan
pembentukan Kabupaten baru yang bernama Tangerang Barat.
Secara
historis Tangerang bagian barat ini sudah sepantasnya menjadi kabupaten
diiringi kelengkapan potensi pendapatan asli daerah sangat memungkin.
Letak geografis yang strategis di antara jalur lalu lintas nasional yang
cukup padat.
Pusat
Industri tumbuh dan berkembang di Kecamatan Balaraja, Jayanti dan
Cisoka. Areal perumahan sebagai daerah salah satu penyangga Ibukota
sudah berdiri di setiap kecamatan yang ada di daerah ini.
Potensi
pertanian tersebar di wilayah kecamatan Cisoka, Solear, Jayanati,
Sukamulya, Kresek, Gunung kaler, Mekar Baru, dan Kronjo. Adapun potensi
kelautan dan perikanan berpusat di Kecamatan Kronjo dan Mekar Baru.
II. Identitas Budaya Tangbar
A. Budaya Berkesenian Di Tangbar
Budaya
menurut Koentjoroningrat merupakan hasil cipta, rasa dan karsa suatu
masyarakat. Kaitannya adalah berkesenian yang didorong karena pengolahan
rasa sehingga kehalusan budi tercermin dalam pribadi masyarakatnya.
Kehalusan ini akan berdampak pada aspek sosial budaya dan sosial
politik.
Dari
proses interaksi berkesenian inilah budaya pun menjadi pola pikir yang
berpengaruh ke seluruh lini perikehidupan masyarakat. Dan menjadi ‘ruh’
pijakan pemikiran yang disadari ataupun tidak oleh individu tersebut.
Dari
berbagai pengamatan dapat dideskripsikan diantaranya berkaitan dengan
jiwa kesenian yang menjadi landasan munculnya hal tersebut di daerah
ini, diantaranya adalah budaya yang bernafaskan religi, yang
berlandaskan jejak budaya proto masyarakat tersebut pun akulturasi
dengan masyarakat luar.
Di
antara budaya yang berlandaskan religi, tentunya masyarakat Tangbar
yang menduduki wilayah seluas 264.03 Km dengan jumlah penduduk 573.742
jiwa ini komposisi keberagaman pemeluk agama masyarakatnya adalah Islam,
572.654; Katolik, 249; Protestan, 401; Hindu, 226; Budha, 212 (Proyeksi
dari Urais Kemenag Kab. Tangerang, 2008). Komposisi ini menunjukkan
budaya masyarakat setempat dipengaruhi oleh ritualitas keislaman yang
sangat kental.
Berkesenian
secara umum berarti melahirkan jiwa-jiwa seni atau budaya masyarakat.
Di Tangbar budaya Islam yang bisa dilihat adalah Marhaba Rakbi (dikenal
dengan istilah Marhabaan). Uniknya, akhir tahun 80-an Marhabaan
dilakukan untuk prosesi khitanan anak laki-laki. Sayangnya, prosesi ini
hampir bahkan bisa dikatakan punah di wilayah ini. Penggunaan prosesi
ini berbeda di wilayah Banten lainnya seperti yang dideskripsikan buku
”Profil Seni Budaya Banten” (Dispendik Prov. Banten, 2003).
Seperti
di wilayah Banten lainnya, marhabaan juga digunakan untuk prosesi
pemberian nama kepada si cabang bayi. Sang bayi di arak keliling ketika
hadirin berdiri melantunkan Marhabaan diikuti nampan dengan lilin dan
kelapa muda yang dihiasi pernak-pernik uang. Pada saat diarak itulah
cukuran terhadap bayi tersebut dilakukan dan rambut hasil cukuran
dimasukan ke dalam kelapa muda. Menurut Ust. H. Nawawi (alm.) jika orang
tuanya berkelebihan, hasil cukuran ditimbang kemudian digantikan dengan
emas, emas pun dijual hasilnya kemudian disedakahkan atau dijariahkan.
Keunikan
lain, dari kebiasaan masyarakat islam Tangbar yakni selalu
dikumandangkannya pembacaan manakib Syekh Abdul Qodir Jaelani atau lebih
dikenal dengan istilah mamaca. Saat penduduk akan melakukan malam
pengisiian rumah baru, pesta perkawinan, ataupun acara selamatan
lainnya. Moment yang paling khas pada prosesi mamaca pengisian rumah
adalah di kala sesi pantek paku.
Adapun
pada bagian pupuh tertentu terdapat acara Numbak, yakni mencoba meramal
nasib ke depan dengan menyelipkan uang recehan atau kertas pada
lembaran halaman manakiban tersebut. Memorial acara ini mengingatkan
penulis di rumah KH Djasmaryadi ketika Pak Tile melantunkan pupuh demi
pupuh dengan suaranya yang merdu. Mamaca masih tumbuh subur tetapi
kebiasaan ikutannya sudah jarang dilakukan masyarakat saat ini.
Kesenian
rakyat Tangbar lain yang hampir punah adalah Terbang peninggalan Ibu
Nyi Mas Malati sebagaian ada yang mengatakan peninggalan Syekh Nawawi
Al-Bantani yang sekarang dipimpin Bapak Sakib di Desa Bunar, Sukamulya.
Grup kesenian dimainkan oleh lima orang pemain (2 pemain rebana, 1
pemain kecrek, 1 pemain rebab dan seorang sebagai pedendang shalawat).
Yang menyedihkan tidak ada perawat, penggali, dan penerus kesenian ini.
Diprediksi kurang dari 1 dekade lagi peninggalan kesenian ini tinggal
nama saja.
Satu
alat kesenian lagi yang konon nasibnya akan sama adalah gambang,
angklung, dan bedug peninggalan Ki Buyut Kati dari Tonjong, Kresek.
Diperkirakan kemunculan kesenian buhun ini tidak jauh dari masa keemasan
Terbang Ibu Nyi Mas Malati (1658-an). Salah satu tokoh fenomenal di
wilayah ini. Pijakan hukum untuk menjaga budaya ini yang dapat dijadikan
landasan adalah UU No. 5 Thn. 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal 18
(1) dan UU No. 19 Thn. 2002 tentang 2002 tentang Hak Cipta Pasal 10 (1)
& (2) sehingga tidak ada lagi ewuh pakewuh atau ‘kebakaran jenggot’
dikemudian hari atas pengklaiman budaya tersebut.
‘Alam’
kesenian rakyat yang tidak banyak diminati pemuda saat ini antara lain
antara lain kesenian wayang golek. Hasil wawancara penulis dengan
penggiat kesenian rakyat wilayah ini tinggal 3 grouf wayang golek yang
masih eksis di wilayah ini, antara lain: grouf wayang golek Murta Ponah I
pimpinan Dalang Murjana (Sukamulya), Murta Ponah II pimpinan Dalang
Mursidin (Sukamulya), dan Gentra Lodaya II pimpinan Dalang Agus Baskara
(Pangkat-Jayanti). Dua dalang terakhir ini konon kabarnya, sudah diakui
di kancah nasional.
Dari
data yang dapat dihimpun kesenian rakyat lain yang masih eksis adalah
topeng. Kesenian ini mirip dengan lenong Betawi atau lebih mirip dengan
lakon jenaka.
Di
antara grouf topeng yang masih aktif berdasarkan penelusuran di daerah
ini antara lain grouf Topeng Gentong pimpinan Gr. Usup
(Parahu-Sukamulya), Sinar Balebat pimpinan Bpk. Markata
(Benda-Sukamulya), Centong pimpinan Bpk. Said (Tonjong-Kresek), Giri
Asih pimpinan Bpk. Saudi (Koper-Kresek), Odah-Saputra pimpinan Ibu Odah
(Bojong Manuk-Kresek), Eroh pimpinan Bpk. Cekong (Cempaka-Cisoka),
Canung pimpinan Bpk. Canung (Cempaka-Cisoka), Mekar Wangi pimpinan Bpk.
Padil Irawan (Pangkat-Jayanti).
Dari
sekian grouf topeng ini ke-eksistensian-nya ditentukan para nayaga-nya
yang hanya bergantung pada frekuensi panggilan para peminatnya saja.
Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian khusus para inohong
sehingga keberadaanya menjadi ikon wisata budaya daerah ini.
Harapan
yang diperlukan adanya design khusus untuk memajukannya dengan inovasi
kekinian dalam rangka mendongkrak devisa daerah. Budaya-budaya rakyat
yang ada pun tidak hanya sebagai simbol dalam seremonial untuk tujuan
mempresentasikan keberadaan kesenian saja tetapi menjadikan wahana
sosialisasi program kerja unggulan Pemda dan bangsa yang berdampak pada
peningkatan indeks pembangunan manusia dan kehalusan budi masyarakat
yang semakin terkikis.
B. Budaya Politik Tangbar
Demokrasi
menjadi pilihan bangsa kita yang majemuk terutama dalam rangka
memajukkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pilihan
ini yang kemudian menjadikan proses yang memakan waktu dan kesabaran
untuk menjadikan masyarakat kita melek dalam berpolitik dan menyalurkan
hasrat politiknya. Tentu saja proses pengkaderan melek politik ini telah
dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan sejak usia dini hingga
manula.
Keharusan
pendorong partisipasi masyarakat bagi 399,427 jiwa dari 203,796
laki-laki dan 195,631 wanita – Total DPS HP* pada 9 kecamatan di Tangbar
– yang menjadi pemilih tetap pada perhelatan Pilpres setahun lalu, akan
menjadi ampuhkah nanti? Tentu, jawabannya ada dikemudian hari. Bagi
bukan menang atau kalah tetapi persentase tingkat partisipasi masyarakat
tersebut ketika pesta digelar. Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa
pada saat lepas dari perhelatan tersebut? Ternyata kita masih punya PR
tentang ini. Kita semestinya mendidik masyarakat kita agar melek politik
dalam rangka meminimalisir kekurangan dan kecurangan pesta tersebut.
Masih
terbayang oleh ketika masih duduk di bangku SMA, waktu itu, tidak ada
bahasa money politics dalam Pilkades. Namun di penghujung tahun ’90-an
saat Pilkades kembali hadir penyakit itu tiba-tiba menggerogoti naluri
pemilih. Entahlah budaya semacam itu muncul di Tangbar. Patogensi
masyarakat pun semakin menggila-gila. Penulis tidak ingin mengungkapkan
dari mana ‘virus’ itu muncul. Tetapi bagaimana menghilangkan
perlahan-lahan atau jika mampu sekaligus, sehingga tidak menjadi
penyakit yang akut tingkat tinggi dan melumpuhkan pesta demokrasi di
kampung kita.
Solusinya
adalah mendidik politik bersih dengan kesenian dan perhelatan dalam
ritual keagamaan sehingga penghematan bisa dilakukan. Karena pada saat
itu semua lapisan masyarakat hadir dan bisa tampil dalam rasa
kebersamaan – atau dalam istilah ke-guyub-an. Tumpah ruahnya masyarakat
disaat jauh sebelum menjelang pesta demokrasi menjauhkan anggapan
apriori dan alergi masyarakat terhadap politik.
Kaum
muda dan kalangan intelektual harus bergerak ke depan dan mulai diberi
kesempatan untuk sebuah tanggung jawab atas kemajuan yang dimulai dari
perubahan atas kampung halamannya. Stagnasi akan lincah dengan
sendirinya dalam proses dinamisasi zaman jika ditata dengan sebuah
harapan baru. Maka budaya politik baru akan muncul di tanah ini dengan
optimisme yang dipandu oleh jiwa bijak dari sesepuh sebagai
pengejawantahan janji yang telah terucapkan!
Tinjauan
kesenian sebagai dagangan yang bermartabat belum muncul di wilayah ini.
Padahal kesenian akan memberikan dampak yang infiltratif yang halus,
lembut dan tumbuh dalam jiwa setiap insan. Plus disokogurui dengan
kegiatan ritual religi yang mampu mengarahkan keguyuban dalam membelai
manusianya untuk berfikir dan menjadikan wilayahnya baldatun toyibatun
warabun gofur.
Dari
kesadaran menjaga warisan budaya guyub inilah warga Tangbar tetap
terjaga ketentramannya dari berbagai sudut. Masyarakatnya yang someah
terhadap pendatang dan berangkulan dalam setiap perhelatan akan tetap
terjaga jika diwasiti tanpa kepentingan oleh setiap aparatur baik oleh
pemerintah dan pemerintah daerah.
III. Globalisasi dan Prilaku Orang Tangbar
Arus
industrilisasi mengepung kampung-kampung di Tangerang Barat perubahan
mendasar pun terjadi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri.
Corak tata cara ini juga yang membuka cakrawala bahkan tujuan hidup
bagi masyarakat di sini. Masyarakat agraris akan berbeda dengan
masyarakat industri sebab hal ini berkaitan dengan kegiatan orang yang
berkejaran dengan target eksistensi personalitas.
Masyarakat
agraris lebih banyak menciptakan budaya guyub, gotong royong. Yang
melibatkan banyak orang tanpa pamrih atau sekedarnya. Adapun masyarakat
industri akan berlomba untuk mengumpulkan pundi-pundi pribadi sehingga
hasil dari eksistensi diri lebih menonjol daripada kolegial.
Gairah
masyarakat industri lebih dinamis, cepat dan praktis sehingga waktu
merupakan hal yang begitu penting, time is money. Berbeda dengan
masyarakat agraris yang lebih tergantung pada alam sehingga waktu pun
bergantung pada iklim. Waktu pun tidak begitu ketat mengatur
perikehidupan masyarakat ini.
Simpelnya,
masyarakat agraris itu didominasi pemilik dan masyarakat industri
didominasi buruh. Kedudukan masyarakat agraris didominasi sebagai bos
dan masyarakat industri didominasi pekerja (buruh). Maka perbedaan ini
akan mengubah sirkulasi sentuhan antarorang dan perilaku dari kedua
masyarakat secara kontras.
A. Perilaku Masyarakat Tangbar Dahulu
Masyarakat Tangerang Barat dahulu terkenal dengan kekuatan silaturahminya. Dahulu orang mengenal dengan istilah ampihan, artinya tempat seseorang yang ditokohkan sehingga banyak orang lain berkumpul untuk kongko-kongko saja atau memecahkan suatu masalah di tempat tersebut.
Ampihan
inilah yang menyebabkan orang dari daerah lain mampu mendeteksi letak
dan posisi anggota masyarakat yang dikenalnya berada. Ampihan ini pula
yang menjadi simpul ketika undangan menggarap sawah, mendirikan rumah,
kerja bakti membersihkan kampung, musibah ketika kehilangan orang
(meninggal) atau kegiatan tahlilan yang akan dilaksanakan.
Dari
ampihan ke ampihan yang lain inilah yang menjadikan budaya guyub di
setiap desa di daerah Tangerang barat. Kegiatan komunikasi mulut ke
mulut waktu itu menjadi jembatan yang paling sukses. Stasiun informasi
pun cukup diparkir di satu ampihan dan setiap orang yang menjadi anggota
menyerapnya. Timbulah kegiatan ngariung sebagai pola kehidupan bukan
saja di saat momen kenduri tetapi dalam segala hal.
Dahulu
mudah saja menggerakan sekelompok pemuda/i untuk menggarap sawah cukup
dengan memberi makan siang dan malam. Dahulu dengan mudah melihat
sekelompok pemuda nonton hiburan wayang atau topeng berjalan beriringan
sambil saling lempar guyonan.
Penghargaan
terhadap pemudi (baca: wanita) pun luar biasa dari pemuda-pemuda
Tangbar. Ketika mereka mengencani kekasihnya itu tidak sendirian tetapi
diiringi teman-temannya.
Jika
pemuda mengajak kekasihnya nonton hiburan. Yang bergembira bukan saja
kekasihnya tetapi orang tua wanita juga sebab sang pemuda biasanya akan
membawa oleh-oleh penganan seperti bacang, leupeut, bebodor, dan kacang
sangrai yang cukup banyak. Konon, bisa sebakul bahkan sepikulan. Hal ini
dilakukan baik oleh si miskin apalagi yang kaya.
Kriteria
pemilihan pemuda calon mantu pun berdasarkan pada skill sang pemuda
yang sudah pintar atau mampu menyangkul, ngored, ngawaluku atau pintar
menggergaji dan mengampak kayu. Begitu pun pemilihan terhadap pemudinya.
Pemudi yang siap dinikahkan itu pemudi yang sudah pintar ngakeul,
ngejo, nandur, dan ngetem dalam tibuat, panen padi.
Sistem
berkelompok ini juga dilakukan oleh pemuda/i yang selepas magrib saat
berangkat mengaji. Jika pemuda, akan berada di depan atau di belakang
membawa obor dan pemudinya berada di tengah sambil menjungjung Quran
tangan kirinya, tangan kananya memegang obor sehingga jika dilihat dari
kejauhan seperti untai naga yang membelah malam.
Budaya
pembuatan obor ini pun berlangsung ramai saat malam takbiran. Di setiap
pojok kampung terdapat obor. Beduk langgar pun berbunyi dimainkan oleh
sekelompok pemuda. Biasanya dilanjutkan hingga 7 hari pasca lebaran.
Biasanya disebut ngadu beduk istilahnya beduk barungan.
Berkumpulnya
penduduk pada saat lebaran berlangsung di saat dan tempat tertentu.
Biasanya H + 1 para penduduk menjejali pemakaman. Pemakaman yang ramai
itu di antaranya Makam Salak, Balaraja; Makam Sumur Bandung, Jayanti;
Makam Keramat Solear, Solear; dan Makam Pangeran Jaga lautan, Pulo
cangkir-Kronjo.
Penulis
terkesan dengan banyaknya penduduk, pedagang, dan ramainya petasan
dalam berbagai jenis yang di bakar pengunjung di Makam Salak, Balaraja.
Terasa saat itu pemuda/i dari berbagai ampihan berkumpul di tempat
tersebut untuk saling sapa atau jual tampang pada lawan jenisnya.
B. Perilaku Masyarakat Tangbar Di Era Globalisasi
Seperti kita ketahui Tangerang adalah negeri seribu industri. Begitupun Tangerang Barat menerima cipratan arus industri ini sehingga pola perilaku masyarakat Tangerang Barat lambat laun berubah.
Industri
biasanya memberikan banyak peluang pekerjaan bagi banyak orang. Orang
dari berbagai daerah berkumpul di Tangerang Barat sehingga banyak urban
dari daerah Lampung, Palembang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bima, Sulawesi, Kalimantan, Indonesia Timor pun berkumpul. Akibat ini
pun membuka pelung orang asing dari Cina, Korea, Jepang, Eropa bekerja
di sektor ini.
Dari
persentuhan budaya dan aktifitas pun mengubah pola pergaulan masyarakat
setempat. Walaupun di masa lalu sudah banyak warga pendatang sudah ada
seperti pedagang dari priangan, Jawa tengah, Jawa timur, Madura dan
Makasar sudah hadir di sini. Begitu juga warga Cina sudah ratusan tahun
mendiami daerah Tangerang Barat.
Masyarakat
Tangerang Barat pada dasarnya welcome terhadap para pendatang. Dan
tidak protektif buktinya banyak penduduk di sini yang menikah dengan
penduduk luar. Akulturasi pun membentuk pola tingkah laku yang beragam.
Pemuda
Tangerang Barat pun tetap berkerumun tetapi tidak berada di ampihan.
Mereka di warung, cape, atau toserba. Sebagian ada juga yang berkumpul
di pinggir jalan, pos Kamling tetapi sifat mereka selalu nomaden.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Yang
menjadi preseden buruk bagi paradigma berfikir penduduk Tangerang Barat
yakni dalam hal pendidikan. Akibat arus industri ini paradigma berpikir
berpendidikan. Kalau dulu Orang-orang Tangerang Barat kebanyakan
sekolah untuk mendapatkan kemampuan yang mumpuni. Sekarang banyak
penduduk yang berpikir bahwa sekolah asal lulus dan muaranya adalah
bekerja di Pabrik.
Masalah
asal-muasal pendidikan, besar-kecilnya nilai, bahkan tinggi-rendahnya
pendidikan bukan ukuran. Fenomena ini disebabkan tidak ada sistem yang
membedakan karena pemerintah maupun perusahaan tidak memberikan ruang
untuk kreatifitas dan prestasi seseorang. Misalnya saja seorang sarjana
yang bekerja di satu bagian produksi akan digaji sama dengan lulusan SD.
Parahnya
lembaga pendidikan pun tidak mampu memasok manusia yang berkualified
untuk menduduki jabatan yang disediakan juga virus KKN pun telah
menjalar di dunia industri. Akibatnya, paradigma ini menjadi patokan
dari tujuan akhir orang-orang Tangerang bersekolah.
Oleh
karena itu, kejelian terhadap fenomena negatif ini harus menjadi konsen
bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Orang-orang Tangerang Barat
perlu diberikan pencerahan dalam hal ini sehingga patut kiranya garansi
bagi orang yang berprestasi dan berkarakter oleh pemerintah, khususnya
pemerintah daerah.
Walhasil,
konservasi sumber daya manusia yang berprestasi perlu digalakkan di
negeri demarkasi agraris dan industri ini. Semoga era globalisasi ini
tidak mencabut otak-otak brilian dari bumi Tangbar.***
Sumber : Supiyatna
0 Komentar:
Posting Komentar
<< Home